BENARKAH PONSEL SEKEDAR ALAT BERGAYA

ada dasarnya bila dilihat dari sisi 'budaya', selayaknya masyarakat Indonesia benar-benar merupakan target empuk bisnis telekomunikasi. Bagaimana tidak? Sudah menjadi kebiasaan kita dari dulu hingga kini untuk senantiasa menjalin silaturahmi baik antara keluarga dekat, keluarga jauh, kerabat, mitra bisnis dan lainnya.

Dengan adanya solusi telekomunikasi maka keperluan kita untuk menjaga tali silaturahmi menjadi sangat mudah (dan murah) apalagi selain via suara kini komunikasi SMS sangat disukai masyarakat kita. Berikut adalah contoh berbagai kejadian dimasyarakat yang penulis amati.

Hal yang paling umum adalah sekedar bertegur sapa menanyakan kabar, bercanda, bercengkerama, memadu kasih dan banyak hal yang sangat lazim dilakukan via telepon bahkan sampai berjam-jam.

Lebih dari itu, perdebatan atau pertikaian yang berkepanjangan sering dilakukan orang via telepon atau sms dan bahkan ucapan hari raya yang dikirim melalui SMS menjadi suatu yang lazim dan tetap diterima ketulusannya dan dimaklumi ketidakmampuan (atau tidak adanya waktu) bagi si pengirim untuk datang, mengirim kartu atau sekedar menelpon secara langsung untuk mengucapkan kata-kata tersebut walau hanya 1 menit.

Sering kali untuk mengisi kesendirian, kesunyian, dan kekesalan, orang segera menggunakan telepon untuk menghubungi seseorang yang bisa (dan biasa) untuk berbicara (atau sekedar mendengarkan saja) segala hal yang ingin kita sampaikan ke lawan bicara kita. Apalagi pada kondisi kota (khususnya ibukota) yang begitu padat lalulintasnya yang memaksakan kita untuk tinggal berjam-jam pada suatu ruang sempit yang bernama 'Kendaraan'. Agar kita tidak jenuh atau kesal, maka hal yang langsung terfikirkan untuk mengusir rasa sepi adalah ponsel, tidak cukup sekedar menghidupkan radio tape.

Banyak yang sudah sangat tergantung dengan perangkat telekomunikasi sehingga apabila ponsel yang digunakannya tidak mendapatkan sinyal atau baterainya habis (low-batt) maka mungkin tingkat keresahannya mirip seperti kita hampir kehabisan bensin atau seperti terjebak didalam suatu kelangkaan bensin. Padahal matinya ponsel sama sekali bukan suatu hal yang parah sebagaimana kita kehabisan bensin.

Kini suatu hal yang wajar didalam saku kita selalu ada ponsel utk menemani dompet dan saputangan. Bahkan banyak orang yang membawa baterai cadangan atau beberapa ponsel. Selain sifatnya yang efisiensi, juga sebagai bagian dari antisipasi dan prevensi) akan tetapi faktanya orang tersebut tidak mengantungi dompet lebih dari satu.

Bila ponsel kita tertinggal maka kita pasti berupaya untuk kembali menyertakan ponsel tersebut bersama kita entah dengan membalik arah atau meminta orang lain untuk mengantarkan ponsel tersebut kepada kita. Bahkan ada canda dikalangan rekan yang mengatakan "Kalau ponsel tertinggal pasti kita segera kembali untuk menjemput tetapi kalau istri/suami yang tertinggal pasti kita hanya meneleponnya untuk menyusul kita". Itu adalah suatu canda yang cukup sinis kepada kalangan pengguna (baca: pemuja ponsel) fanatik sampai seolah nilainya jauh lebih berharga dibanding pasangan hidupnya sekalipun.

Suatu kenyataan bagi mereka yang sedang berobat jalan disaat akan pergi berangkat dari rumah masih lebih teringat untuk membawa Ponsel daripada membawa obatnya.

Apabila ponsel kita hilang, tentu kita akan panik. Selain karena harganya yang bernilai jutaan juga karena ponsel tersebut menyimpan begitu banyak nomor telepon yang penting. Langsung terbayang begitu besar upaya yang perlu kita lakukan untuk kembali menggalang data telepon yang telah hilang. Dan kepanikan tersebut tidak hanya berhenti disitu saja karena kita menjadi lebih panik apabila membayangkan ponsel tersebut mungkin saja dapat disalahgunakan orang untuk maksud tidak baik dengan mengatasnamakan kita untuk menghubungi orang yang ada pada phonebook.

Dengan banyaknya ponsel murah (seharga dibawah Rp200.000,-) sekalipun, akan tetapi kehilangan ponsel tetap akan membuat panik si empunya karena selain karena alasan diatas juga karena keadaan tersebut membuatkan ia "seakan" langsung terisolasi untuk menghubungi dan dihubungi rekannya. Walau sebenarnya pada saat ponsel tersebut masih ada padanya ia juga jarang menghubungi atau dihubungi rekannya.

Contoh lain: Kita tahu bahwa apabila ponsel kita tidak pada moda Hening (Silent mode) pasti tetap akan berbunyi apabila ada telepon atau SMS masuk. Namun coba perhatikan banyak juga orang yang kerap memeriksa layar ponselnya untuk sekedar melihat andai mungkin ada missed call atau SMS baginya, dan hal itu hanya karena ia khawatir mungkin tidak mendengar ponselnya berbunyi saat ia sedang berada di keramaian.

Hal lucu yang penulis pernah lihat pada beberapa kasus (andapun mungkin bisa menemukan kejadian seperti ini atau bahkan mengalami sendiri) pemandangan dimeja kafe dimana ada dua orang yang saling duduk bersama tetapi masing-masing justru asik berbicara di ponselnya masing-masing.

Anak-anak sekolah sudah lazim membawa Ponsel dan walau dibeberapa sekolah hal tersebut dilarang tetapi diakui pula bahwa kesertaan Ponsel bagi sang anak akan lebih memudahkan kita untuk menghubunginya.

Masih banyak lagi contoh lain yang terlalu panjang untuk dijabarkan. Bila kita menarik benang merah dari keragaman kejadian diatas terlihat bahwa Ponsel bukan lagi sekedar benda untuk bergaya tetapi sudah menjadi penyerta hidup kita. Sama pentingnya dengan kita membawa dompet atau kacamata misalnya karena ponsel bukan lagi sekedar alat komunikasi tetapi konvergensi masa kini yang menyertakan segala macam fasilitas pada ponsel seperti Organizer, Calculator, MP3 player, Game, Movie Player, Kamera, Data transfer, Music Editor, Internet Browser dan lainnya. Bisa dikatakan ponsel memang benda yang bermanfaat.

Ponsel secara de facto sudah menjadi kebutuhan sekunder. Lalu seberapa baik kita dapat memanfaatkannya secara baik dan maksimal? Jawabannya dapat anda nilai sendiri dalam keseharian anda.

0 komentar:

    .

Video Gallery