2.630 Siswa SMA Se-Sulsel Tidak Lulus

Tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tahun ini mengalami penurunan yang signifikan.


Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) kemarin mengumumkan bahwa dari 1.522.162 peserta UN, 154.079 di antaranya dinyatakan tidak lulus. Dari jumlah itu, 2.630 di antaranya adalah siswa SMA/MA daerah ini.


Ketua Panitia UN 2010 Sulsel, Abdullah Parewe yang dikonfirmasi malam tadi mengemukakan, untuk tahun ini, tingkat kelulusan UN tingkat SMA/MA di Sulsel yang diikuti 33.333 peserta, mengalami penurunan 0,41 persen disbanding tahun lalu.


Jika tahun lalu persentase ketidaklulusan peserta UN tingkat SMA dan MA hanya 7,48 persen, maka tahun ini menjadi 7,89 persen. "Jumlah itu tersebar di 501 sekolah penyelenggara UN di Sulsel," ungkapnya.

Meski secara keseluruhan di Sulsel terjadi penurunan persentase kelulusan UN, Parewe mengemukakan bahwa khusus untuk Makassar, terjadi lonjakan prestasi yang membanggakan. Jika tahun lalu Makassar terpuruk dengan ketidaklulusan peserta ujian mencapai 16,28 persen, maka tahun ini peserta UN tingkat SMA dan MA di Makassar hanya 9,02 persen. Hanya 724 siswa dari total 8.020 peserta UN.


Persentase ketidaklulusan tertinggi justru terjadi di Maros. Di daerah ini, siswa yang tidak lulus tercatat 237 orang dari 1.160 peserta atau sebesar 20,43 persen. Tahun lalu, persentase ketidaklulusan peserta UN di Maros hanya 11,38 persen.


Kabupaten Gowa juga masih mencatat ketidaklulusan yang lumayan tinggi. Parewe mengungkapkan, dari 2.038 siswa yang mengikuti UN, 217 siswa di antaranya tidak lulus. Artinya, hanya sekitar 89,3 persen siswa yang dinyatakan lulus ujian.


Jumlah siswa yang tidak lulus juga cukup banyak di Kabupaten Sidrap, yakni 134 orang. Di daerah penghasil beras itu, total peserta UN tahun ini hanya 867 orang, atau 15,4 persen di antaranya tidak lulus UN.

Angka kelulusan yang cukup tinggi diperoleh Kabupaten Bone, meskipun juga tidak lebih baik dibanding tahun lalu dengan persentase kelulusan mencapai 96,71. Tahun ini, persentase kelulusannya 93,61 atau tidak lulus 6,39 persen. Jumlah siswa yang tidak lulus sebanyak 187 orang dari 2.925 peserta ujian.


Data yang diperoleh dari Panitia UN 2010 Sulsel untuk Kabupaten Pinrang, tercatat persentase ketidaklulusannya sebesar 8,65 persen. Siswa SMA dan MA yang mengikuti ujian sebanyak 1.329 orang dan 115 orang di antaranya tidak lulus ujian.


Parewe mengemukakan, penyebab ketidaklulusan peserta ujian di Sulsel umumnya karena hasil UN-nya tidak memenuhi standar nilai rata-rata terendah sebesar 5,50 persen. Standar lainnya, nilai ujian Bahasa Indonesia tidak boleh di bawah angka enam.


Bila hasil UN 2010 untuk tingkat SMA dan MA telah diperoleh Panitia UN kemarin, maka untuk tingkat SMK belum diperoleh. "Kami masih memperjuangkannya untuk bisa diperoleh besok (hari ini, red) dari Kementerian Pendidikan Nasional," kata Parewe.


Tahun lalu, persentase ketidaklulusan peserta UN tingkat SMK sebesar 5,02 persen dan persentase kelulusannya berhasil menempati peringkat ketiga. Angka ini diperoleh dari perbandingan jumlah siswa yang tidak lulus sebanyak 960 orang dan peserta ujian 18.594 siswa.


Pada pelaksanaan UN 2008, ketidaklulusan peserta UN sebesar 10,50 persen atau 1.932 siswa dari 18.407 siswa. UN SMK di Sulsel pada 2008 menempati peringkat keenam nasional.


Menurun Empat Persen


Secara nasional, ungkap Mendiknas Muhammad Nuh, jumlah kelulusan tahun ini turun empat persen dibandingkan tahun lalu. Jika tahun 2009 lalu tingkat kelulusan UN tingkat SMA/MA dan SMK mencapai 93,4 persen, maka tahun ini hanya 89,88 persen saja.


"Angka yang tidak lulus naik memang, tapi itu tidak apa. Ribuan siswa yang tidak lulus (UN) itu masih punya kesempatan mengikuti UN ulangan. Jika masih tidak lulus, juga ada ujian kesetaraan," ujar mendiknas.


Fakta ini, imbuh Nuh, tidak perlu disesali apalagi ditangisi. Sebaliknya, patut disikapi secara objektif bahwa tingkat kejujuran para peserta UN semakin meningkat. "Inilah hasil dari pelibatan pengawas independen sehingga pelaksanaan (UN) semakin ketat. Dan lebih penting lagi, inilah buah dari pernyataan pakta kejujuran anak-anak kita," ucap Nuh.


Daerah mana saja yang tingkat kelulusannya paling anjlok tahun ini? Menurut Nuh, daerah dengan penurunan kelulusan UN tertinggi dipegang Gorontalo. "Kalau tahun sebelumnya daerah itu (Gorontalo) tingkat kelulusannya mencapai 90 persen, maka tahun ini hanya 53,77 persen," ungkap mantan rektor Institut Teknologi Surabaya itu.


Selain Gorontalo, imbuh mendiknas, ada beberapa daerah yang mengalami penurunan kelulusan secara drastis. Daerah-daerah dimaksud adalah Nusa Tenggara Timur yang hanya meluluskan 47,92 persen, Maluku Utara (58,96 persen), Kalimantan Tengah (61,71 persen), Sulawesi Tenggara (64,11 persen) dan Kalimantan Timur (69,47 persen).


UN Ulang


Penurunan hasil UN tahun ini di sejumlah daerah, akan segera disikapi kemendiknas. Mendiknas Nuh mengemukakan, pihaknya akan segera melakukan pemetaan permasalahan di daerah dengan tingkat ketidaklulusan cukup tinggi itu.


"Tiap sekolah pasti memiliki permasalahan yang berbeda. Makanya, lewat pemetaan permasalahan kita akan dapat mengetahui apa dan bagaimana meningkatkan kelulusan nanti," tandasnya.

Nuh menjelaskan, meski masih banyak yang tidak lulus, kemendiknas tetap akan memberikan kesempatan seluruh siswa yang tidak lulus untuk mengerjakan UN kembali pada 10 hingga 14 Mei mendatang. "Mata pelajaran yang diujikan berikut waktu ujiannya tetap sama dengan pelaksanaan UN sebelumnya," papar Nuh.


Untuk itu, saran Nuh, semua sekolah yang siswanya banyak gagal pada UN, sesegera mungkin memberikan pelajaran tambahan pada mata pelajaran yang akan diujikan. "Masih ada waktu untuk membahas latihan soal UN di sekolah-sekolah," tuturnya.


Jika pada UN ulangan nanti, lanjut Nuh, masih ada siswa yang tidak lulus, masih ada kesempatan lagi untuk mengikuti UN kesetaraan paket C pada 22 Juni mendatang. "Dan akan tetap ada kesempatan buat mereka untuk terus belajar dan berusaha," tambahnya. (rif/jpnn)

Read More...

Profesionalisme, Sertifikasi, dan Evaluasi

Guru biasa memberitahukan,guru baik menjelaskan, guru ulung memperagakan, guru hebat mengilhami (William Athur Ward)

Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool Sampai ke IKIP: 1852-1998 mengisahkan "Pada tahun 1938 seorang guru di Solo memutuskan untuk keluar sama sekali dari dunia pendidikan, dan pindah bekerja ke PTT (Jawatan Pos, Tilpon, dan Telegram). Guru ini bernama Habib Rachmad-Meneer Habib begitu panggilannya sehari hari pada waktu itu-dan beliau tamatan Sekolah Guru yang namanya HIK (Hollands Inlandse Kweekschool). Keputusannya ini sangat disesalkan oleh teman temannya. Habib Rachmad berkata "Teman teman! Anda semua tahu bahwa saya selalu bekerja dan berjuang untuk pendidikan. Tetapi, mungkin anda tidak tahu bahwa saya tidak mampu mendidik anak anak saya sendiri. Pada saat ini hidup meminta sesuatu yang lain dari diri saya. Dan saya harus mengikuti perintah hidup ini. Memang agak menyedihkan, tetapi itulah kenyataan yang tak dapat saya elakkan".

Meneer Habib mungkin guru yang amat mencintai dunia pengajaran dan pendidikan, namun arah hidupnya telah memaksa menarik dirinya untuk meninggalkan dunia yang dicintainya. Ia mesti menghidupi anak anak yang menjadi bagian dari keluarganya. Dunia keguruan dengan terpaksa ia tinggalkan. Kini, dengan adanya implementasi sertifikasi kita boleh berharap bahwa profesi guru lambat laun mencapai harkat, martabat, dan derajat yang diharapkan. Tidak hanya dari segi status sosial, bahkan segi finansial yang telah lama dianak tirikan.

Sertifikasi

Sertifikasi adalah angin segar dan buah bibir yang akhir akhir ini banyak diperbincangkan. Tak hanya oleh guru negeri, juga guru swasta. Keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai titik tersebut. Tak ada diskriminasi dalam sertifikasi, yang mungkin ada hanyalah daftar antri yang panjang untuk memperoleh kesempatan tersebut. Kita hanya bisa berharap bahwa masing masing diri kita akan segera memperoleh peluang itu.

Sertifikasi memang telah menjadi kata seksi yang teramat penting untuk dilewatkan khususnya bagi para guru. Ia menjadi semacam kata kunci bahwa profesi guru saat ini adalah profesi yang mentereng, berwibawa, dan diperhitungkan. Menjadi guru sekarang ini adalah perlombaan pendidik yang lebih profesional, kompeten, dan bertanggung jawab. Mungkin masih di atas kertas, tetapi setidaknya ini akan menjadi acuan bahwa terdapat beberapa indikator seorang guru dikatakan profesional .

Merujuk pada ketentuan umum dalam Undang Undang (UU) Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru profesional yang disertifikasi setidaknya tak lagi disibukkan dengan bagaimana agar asap dapur tetap mengepul karena dalam Undang Undang Guru dan Dosen ini telah dicantumkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak mendapat komponen gaji dan komponen penghasilan.

Gaji dalam konteks ini seperti tertulis dalam UU Guru adalah hak yang diterima dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang undangan. Sedangkan penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional. Kedua komponen diatas meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan.

Bahkan, akhir tahun 2009 ini presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah yang disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa guru yang belum sertifikasi pun mendapat tunjangan sebesar Rp. 250.000.- per bulan terhitung sejak Januari 2009. Kabar gembira ini hendaknya menjadi cambuk kepada semua guru agar senantiasa meng-up grade pengetahuan keilmuan sesuai dengan kompetensi dan kemampuan pedagogiknya. Mengacu pada apa yang ditulis oleh Abuddin Nata dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam bahwa suatu pekerjaan dikatakan profesional apabila mengandung unsur pengabdian, unsur idealisme, dan unsur pengembangan.

Evaluasi

Ada satu hal yang mungkin terabaikan-untuk tidak mengatakan terlupakan-pasca sertifikasi. Entah disadari atau tidak yang jelas bahwa proses ini sangat penting untuk keberlanjutan dan keberlangsungan profesionalitas masing masing guru. Proses itu bernama evaluasi pasca guru disertifikasi.

Penulis menganggap bahwa sertifikasi bukanlah akhir dari pencapaian tertinggi seorang guru dalam pengajarannya. Ia hanyalah sarana bagi guru agar senantiasa secara konsisten menjaga dan meningkatkan kecakapan seorang pendidik, dan pemerintah memberi maslahat tambahan berupa penghasilan di atas rata rata.

Bolehlah ini disebut penghargaan atas jasa jasa seorang guru, namun itu saja tidak cukup karena jika kita kembali pada konsep awal mengenai sertifikasi, kita mesti tahu bahwa hal ini dimaksudkan agar guru bisa tenang dan profesional dalam proses transfer of knowledge dan pemahaman moralitas bagi anak anak didiknya. Karena boleh jadi, bagi sebagian guru, sertifikasi adalah garis finish sehingga tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas personal masing masing guru setelahnya.

Sertifikasi bukan hadiah, ia adalah penghargaan atas integritas kedirian seorang pendidik, dan ada tanggung jawab moral untuk memacu diri pasca sertifikasi. Sebagai penutup ada baiknya dicamkan perkataan Vina Barr, seorang guru teladan di Florida yang berucap "Kami bukan hanya guru, kami adalah seniman pendidikan, kami melukis pikiran orang orang muda".

Asep Dudinov AR - http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/31/profesionalisme-sertifikasi-dan-evaluasi/

Read More...
    .

Video Gallery